Jumat, 26 Oktober 2012

Hukum Tentang Ikhtilath



hayatulislam.net - 
Soal: Bagaimana pandangan Islam terhadap ikhtilath, dan dimana saja kita bisa berikhtilath? Misalnya boleh ndak kita berikhtilath di sekolahan, pasar/tempat-tempat umum, dan seterusnya?

Jawab: Ikthtilath adalah percampuran antara laki-laki dan wanita. Ikhtilat adalah lawan dari infishal (terpisah). Pada dasarnya, Islam telah mewajibkan pemisahan antara wanita dan laki-laki. Pemisahan ini berlaku umum dalam kondisi apapun, baik dalam kehidupan umum maupun khusus, kecuali ada dalil-dalil yang mengkhususkannya.

Sebelum membahas tentang ikhtilath, kita mesti memahami terlebih dahulu kaedah-kaedah interaksi (ijtima') antara laki-laki dengan wanita. Kaedah interaksi antara seorang laki-laki dengan wanita dapat diuraikan sebagai berikut:

Pertama, jika suatu aktivitas memang mengharuskan adanya interaksi antara pria dan wanita, maka dalam hal semacam ini seorang laki-laki dan wanita diperbolehkan melakukan interaksi, namun hanya terbatas pada kepentingan itu saja.

Sebagai contoh, adalah aktivitas jual beli. Di dalam aktivitas jual beli, mau tidak mau harus ada penjual dan pembeli. Harus ada pula kegiatan interaktif antara penjual dan pembeli, misalnya bertanya tentang berapa harganya, barang apa yang hendak dibeli, boleh ditawar atau tidak, dan semua hal yang berkaitan dengan jual beli. Dalam keadaan semacam ini, maka seorang laki-laki dibolehkan berinteraksi dengan kaum wanita karena memang aktivitas tersebut mengharuskan adanya interaksi. Aktivitas tersebut tidak akan pernah terwujud tanpa adanya interaksi. Demikian juga dalam hal kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan pendidikan, perburuhan, pertanian, dan kegiatan-kegiatan lain yang mengharuskan adanya interaksi; maka dalam keadaan semacam ini seorang laki-laki diperbolehkan berinteraksi dengan seorang wanita.

Hanya saja, tatkala seorang laki-laki berinteraksi dengan seorang wanita dalam aktivitas-aktivitas seperti di atas, ia harus membatasi dirinya pada hal-hal yang hanya berhubungan dengan aktivitas tersebut. Ia dilarang (haram) melakukan interaksi dengan wanita tersebut di luar konteks perbuatan tersebut. Misalnya, tatkala seorang laki-laki hendak membeli buku kepada seorang penjual wanita, maka ia hanya diperbolehkan berinteraksi pada hal-hal yang berhubungan dengan aktivitas jual beli buku itu saja. Tidak dibenarkan ia bertanya atau melakukan interaksi di luar konteks jual beli buku.

Misalnya, ia menyatakan, "Wah buku ini keren, seperti pembelinya." Atau hal-hal yang tidak ada sangkutpautnya dengan jual beli. Namun jika seseorang telah usai melakukan jual beli, kemudian ia hendak bertanya arah jalan, misalnya, maka ia diperbolehkan bertanya hanya dalam hal-hal yang berhubungan dengan arah jalan itu saja, tidak boleh lebih.

Hal lain yang patut diperhatikan adalah, meskipun seorang laki diperbolehkan berinteraksi dengan wanita dalam aktivitasaktivitas semacam itu, akan tetapi ia tetap harus memperhatikan hal-hal yang berhubungan dengan infishal (pemisahan).

Misalnya, tatkala seseorang hendak membeli barang dari seorang wanita, maka ia tetap harus memperhatikan jarak. Ia tidak diperbolehkan berdekatan, atau malah memepet perempuan tersebut, atau misalnya duduk berhimpitan bersama perempuan penjual itu perempuan tersebut, tatkala hendak membeli barangnya. Meskipun dari sisi interaksi -dalam jual beli- diperbolehkan, akan tetapi, ia tetap harus memperhatikan ketentuan mengenai infishal (pemisahan). 

Demikian pula tatkala berada di bangku sekolahan. Meskipun wanita dan laki-laki diperbolehkanberinteraksi dalam aktivitas semacam ini-belajar mengajar- akan tetapi keterpisahan tetap harusdiperhatikan -dengan ukuran jarak-. Sebab, kewajiban infishal ini berlaku umum, lebih-lebih lagi dalam kehidupan umum. Oleh karena itu, tidak diperkenankan murid laki-laki dan wanita duduk bersama dalam sebuah bangku.

Kedua, jika suatu aktivitas sama sekali tidak mengharuskan adanya interaksi antara keduanya, maka seorang laki-laki dan perempuan tidak dibenarkan melakukan interaksi atau pertamuan dalam aktivitas tersebut. Contohnya, adalah bertamasya, berjalan ke sekolah, kedai, atau masjid. Seorang laki-laki diharamkan berjalan bersama-sama dengan wanita bukan mahramnya dan melakukan interaksi selama perjalanan tersebut. Sebab, interaksi dalam hal-hal semacam ini tidak dibenarkan, dan bukan merupakan pengecualian yang dibolehkan oleh syara'.

Adapun yang dimaksud dengan ikhtilath adalah campur baurnya laki-laki dan perempuan. Pada dasarnya, ikhtilath itu dibenarkan dalam aktivitas-aktivitas yang diperbolehkan oleh syara’. Terutama aktivitas yang di dalamnya mengharuskan adanya interaksi (aktivitas model pertama). Misalnya, bercampur baurnya laki-laki dan wanita dalam aktivitas jual beli, atau ibadah haji (Taqiyuddin an-Nabhani, an-Nidzam al-Ijtimaa', hal. 40).

Dalam kitab an-Nidzam al-Ijtimaa', Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani menyatakan, bahwa "Oleh karena itu,keterpisahan antara laki-laki dan wanita dalam kehidupan Islam adalah fardlu. Keterpisahan laki-laki dan wanita dalam kehidupan khusus harus dilakukan secara sempurna, kecuali yang diperbolehkan oleh syara'. 

Sedangkan dalam kehidupan umum, pada dasarnya hukum asal antara laki-laki dan wanita adalah terpisah (infishal). Seorang laki-laki tidak boleh berinteraksi (ijtima') di dalam kehidupan umum, kecuali dalam hal yang diperbolehkan, disunnahkan, atau diwajibkan oleh Syaari'(Allah SWT), dan dalam suatu aktivitas yang memestikan adanya pertemuan antara lakilaki dan perempuan, baik pertemuan itu dilakukan secara terpisah (infishal), misalnya, pertemuan di dalam masjid, ataupun pertemuan yang dilakukan dengan bercampur baur (ikhtilath), misalnya ibadah haji, dan dalam aktivitas jual beli.(ibid, hal. 40).

Dari sini kita bisa menyimpulkan, bahwa ikhtilath (campur baur) berbeda dengan interaksi. Interaksi itu bisa berbentuk terpisah (infishal) maupun berbentuk ikhtilath (bercampur baur). Kita juga bisa menyimpulkan bahwa bolehnya seseorang melakukan interaksi dengan lawan jenisnya, bukan berarti membolehkan dirinya melakukan ikhtilath. 

Sebab, ada interaksi-interaksi yang tetap harus dilakukan secara terpisah, misalnya di dalam masjid, dalam majelis ilmu dan dalam walimah, dan sebagainya. Adapula interaksi yang dilakukan boleh dengan cara bercampur baur-baur, misalnya jual beli, naik haji.

Pada interaksi-interaksi (pertemuan) yang di dalamnya boleh dilakukan dengan cara ikhtilath, maka seorang laki-laki diperbolehkan melakukan ikhtilath. Misalnya bercampur baurnya laki-laki dan wanita di pasar-pasar untuk melakukan aktivitas jual beli; bercampur baurnya laki-laki dan wanita di Baitullah untuk melakukan Thawaf, bercampur baurnya lakilaki tatkala berada di halte bus untuk menunggu bis, di tempat-tempat rekreasi dan sebagainya. 

Namun demikian, walaupun mereka boleh berikhtilath dalam keadaan ini, akan tetapi mereka tetap tidak boleh mengobrol, bercengkerama, atau melakukan aktivitas selain aktivitas yang hendak ia tuju. Misalnya, seseorang boleh bercampur baur dengan wanita di dalam kendaraan umum, akan tetapi ia tidak boleh bercakap-cakap dengan wanita yang ada di sampingnya, kecuali ada hajah yang syar'iy. Namun, jika masih bisa dihindari adanya ikhtilah, akan lebih utama jika seseorang tidak berikhtilath. Misalnya, memilih tempat duduk yang diisi oleh laki-laki. Atau, negara bisa memberlakukan pemisahan tempat duduk laki-laki dan wanita di kendaraan umum.

Akan tetapi, jika interaksi itu tetap mengharuskan adanya keterpisahan, maka ikhtilath tidak diperbolehkan. Misalnya, ikhtilathnya wanita dan laki-laki dalam walimah, di dalam masjid, di dalam bangku sekolah, dan lain sebagainya. Ikhtilath dalam keadaan semacam ini tidak diperbolehkan.Demikianlah, anda telah kami jelaskan mengenai masalah ikhtilath dengan gamblang dan jelas. Wallahu a'lam bi al-shawab.

Sumber:http://www.firdaus86.web.ugm.ac.id/c/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=20

http://www.google.co.id/imgres?imgurl=http://assunnahfm.com/wp-content/uploads/2011/11/hindari-ikhtilat.jpg&imgrefurl=http://assunnahfm.com/2011/tazkiyatun-nufus/kehormatanmu-wahai-saudaraku-%25E2%2580%25A6-4/attachment/hindari-ikhtilat/&h=314&w=400&sz=33&tbnid=6NyRUMfhDbyy0M:&tbnh=91&tbnw=116&zoom=1&usg=__kbMNrSr5hI7pq-tszZbJMGsCUh0=&docid=SXo1V-btLba2dM&hl=id&sa=X&ei=uTeLUIOTEY3irAfXmoDgDw&sqi=2&ved=0CCMQ9QEwAQ&dur=5979

Pesta Pernikahan dalam Islam



Walimatul Ursy atau Walimah Pernikahan adalah sunnah muakkadah menurut jumhur ulama berdasarkan apa yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari dari Anas bin Malik bahwasannya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melihat bekas kuning pada Abdurrahman bin Auf, maka beliau bersabda: "Apa ini?" Dia menjawab; "Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya baru menikahi wanita dengan maskawin seberat biji kurma." Lalu beliau bersabda: "Semoga Allah memberkati perkawinanmu, adakanlah walimah walaupun hanya dengan seekor kambing."
Juga riwayat lainnya dari Imam Muslim dari Anas berkata; "Saya tidak pernah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengadakan jamuan makan (walimah) terhadap para istrinya -Abu kamil berkata- terhadap para istri-istrinya, seperti jamuan yang beliau adakan waktu menikahi Zainab. Ketika itu beliau menyembelih kambing."
Karena pernikahan didalam islam merupakan amal ketaatan kepada Allah swt maka perlu dihindari berbagai acara yang didalamnya terdapat perbuatan-perbuatan yang melanggar aturan-aturan Allah swt yang bisa menyebabkan hilangnya keberkahan didalamnya.

Diantara hal-hal yang seharusnya dihindari dalam acara walimatul ‘urs (pesta pernikahan):
1. Menghindari terjadinya ikhtilath (percampuran) antara para undangan laki-laki dan perempuan dalam satu majlis, termasuk dalam hal ini menyandingkan pengantin pria dan wanita di pelaminan yang disaksikan oleh seluruh undangan yang hadir sementara diantara mereka ada yang shaleh, fasik atau mungkin kafir.
Biasanya setelah disandingkan maka para undangan baik laki-laki dan perempuan berbaris memberikan ucapan kepada kedua mempelai secara bergantian yang memungkinkan terjadi persentuhan kulit atau pandangan kepada yang bukan mahramnya dan tak disangsikan lagi hal ini bisa mengundang fitnah.
Jika pada acara itu para undangan diberikan kesempatan untuk memberian ucapan selamat hendaklah para undangan pria hanya memberikan ucapan selamat kepada pengantin pria saja begitu juga dengan para undangan wanita cukup memberikan ucapan selamat kepada pengantian wanita saja sehingga tidak terjadi ikhtilat diantara mereka.
Termasuk ikhtilath adalah pengambilan foto atau gambar kedua mempelai dengan para undangan yang hadir baik dengan menggunakan kamera maupun video.
Firman Allah swt :
قُل لِّلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ
وَقُل لِّلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ
Artinya : “Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat".
Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya.” (QS. An Nur : 30 – 31)

2. Tidak menghadirkan lagu-lagu atau para penyanyi baik laki-laki maupun perempuan yang dapat melalaikan si pendengar dari dzikrullah atau dapat membangkitkan syahwat mereka. Hindari pula penggunaan alat-alat musik didalam walimah pernikahan ini kecuali duff (rebana).
Imam Bukhari meriwayatkan dari Aisyah bahwa ia menyerahkan pengantin wanita kepada seorang laki-laki dari kalangan Anshar. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun bersabda: "Wahai Aisyah, apakah tidak ada hiburan, sebab orang-orang Anshar senang akan hiburan?."
Imam Bukhari meriwayatkan dari Khalid bin Dzakwan ia berkata; Ar Rubayyi’ binti Mu’awwidz bin ‘Afran berkata; suatu ketika, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam masuk saat aku membangun mahligai rumah tangga (menikah). Lalu beliau duduk di atas kasurku, sebagaimana posisi dudukmu dariku. Kemudian para budak-budak wanita pun memukul rebana dan mengenang keistimewaan-keistimewaan prajurit yang gugur pada saat perang Badar.”
Dibolehkan bagi anda menghadirkan nasyid-nasyid islamiyah (senandung-senandung islami) yang tidak menggunakan peralatan musik.
Markaz al Fatwa menyebutkan bahwa tidak mengapa mendengarkan nasyid-nasyid didalam beberapa kesempatan, diantaranya pada walimah pernikahan jika tidak mengandung musik dan suara-suara yang menyerupai musik (Markaz al Fatwa No. 19596)
Hal-hal lain yang perlu anda perhatikan didalam melaksanakan walimah pernikahan kelak agar sesuai dengan syariat adalah :
1. Jangan hanya mengundang orang-orang kaya tetapi juga oang-orang miskin.
Dari Abu Hurairah radliallahu ‘anhu, bahwa ia berkata; "Seburuk-buruk jamuan adalah jamuan walimah, yang diundang sebatas orang-orang kaya, sementara orang-orang miskin tidak diundang. Siapa yang tidak memenuhi undangan maka sungguh ia telah bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam."
2. Menghindari prilaku mubazir didalam pernikahan, termasuk menyebarkan undangan yang terlalu banyak melebihi seharusnya. Firman Allah swt
وَآتِ ذَا الْقُرْبَى حَقَّهُ وَالْمِسْكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَلاَ تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا ﴿٢٦﴾
إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُواْ إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِرَبِّهِ كَفُورًا ﴿٢٧﴾
Artinya : “Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.” (QS. Al Isra : 26 – 27)
3. Hendaknya para undangan mendoakan kedua mempelai dengan doa-doa yang disyariatkan, seperti :
"BAARAKALLAAHU LAKA WA BAARAKA ‘ALAIKA WA JAMA’A BAINAKUMAA FII KHAIRIN" (Semoga Allah memberkahimu dan senantiasa memberkahimu dan mengumpulkan kalian berdua dalam kebaikan." (HR. Abu Daud)
“ALLAHUMMA BAARIK FIIHIMA WA BAARIK FII ABNAAIHIMA” (Ya Allah berkahilah mereka berdua dan berkahilah bagi mereka berdua pada anak-anak mereka berdua.” (HR. Ath Thabrani)

4. Meminta mahar yang paling mudah bagi si lelaki.
Abu Daud meriwayatkan dari ‘Uqbah bin Amir bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Sebaik-baik mahar adalah yang paling mudah.”
Wallahu A’lam


Sumber: