Assalamualaykum wr wb
Sungguh tak terasa sekarang kita sudah menginjak penghujung tahun 2011 ini. Tentu saja ada banyak hal yang telah kita lewati bersama di negeri ini. Sayangnya, dari berbagai peristiwa yang dilalui, kebanyakan peristiwa adalah fakta miris kondisi rakyat yang masih jauh dari kata sejahtera.
Tahun yang kian bertambah bukan lantas bertambah pula lahan pekerjaan yang tersedia bagi rakyat negeri ini. Sebaliknya, justru angka pengangguranlah yang makin melesat seiring berjalannya waktu. Menurut data kadin, jumlah tambahan tenaga kerja baru pertahunnya mencapai 2,91 juta orang sedangkan lahan pekerjaan yang tersedia hanya 1,61 juta. Belum lagi, hutang negeri ini yang saat ini mencapai Rp 1.768 triliun yang sungguh menambah berat beban. Rakyat miskin pun kini seolah terserak. Padahal, negeri ini adalah negeri yang kaya. Salah satu buktinya, kita memiliki tambang emas di Papua, ya sayangnya pengelolaan dan tentu keuntungannya yang dapat mencapai Rp 198 triliun per tahun 2004-2008 pun tak pernah sampai di tangan kita.
Lebih ironis lagi, negeri yang kaya ini kaya akan tindak korupsi. Korupsi seolah menjadi penyakit epidemic yang terus menyebar dan mengakar di berbagai instansi dan lembaga. Contoh kecilnya saja, korupsi yang dilakukan oleh Nazarudin, sang bendahara parpol ternama di negeri ini. Belum lagi kasus korupsi di Kemenakertrans, korupsi wisma atlet SEA GAMES Palembang, mafia anggaran di DPR, dan banyak kasus korupsi kepala daerah, hakim, dan jaksa.
Pil pahit negeri ini pun ditambah dengan adanya undang-undang yang akhirnya mengancam kebebasan rakyat. Ya, undang-undang intelijen yang sudah disahkan beberapa bulan lalu mempersilahkan adanya penyadapat, pemeriksaan rekening, dsb oleh pihak intelijen. Namun, ketika itu melanggar privasi tidak ada mekanisme pengaduan untuk meminta privasi atau keadilan. Ditambah dengan digulirkannya rencana pembuatan undang-undang (RUU) yang masih tidak bersahabat dengan rakyat seperti RUU Perguruan Tinggi, RUU Pangan, dsb.
Menambah perih negeri ini, dipenghujung tahun kita dihadiahi berbagai konflik internal, mulai dari panasnya Papua. Gejolak di sana yang awalnya dimulai dari bentrok akibat perebutan kekuasaan dalam pilkadayang menelan kurang lebih 20 korban jiwa, kemudian mogok kerja PT Freeport Indonesia yang berujung bentrok kemudian menelan 2 orang korban jiwa, disusul aksi OPM yang tak kalah dengan menewaskan 12 korban tewas. Sayangnya, tak ada tindak tegas atas semua ini. Pemerintah justru disibukkan dengan isu deradikalisasi sampai-sampai berani menyokong dengan dana Rp 400 miliar lebih. Isu yang banyak muatan asing ini bertujuan untuk menghilangkan makna radikal itu sendiri yang konon berarti kembali pada syariat Islam dan menganggap Amerika sebagai biangnya keburukan. Makna ini justru akhirnya terlihat jelas lebih menyokong kuat kedudukan asing di negeri ini.
Sejuta kepenatan di atas mungkin menggambarkan kesemrawutan di negeri ini. Harus menyalahkan siapa? Setiap pemilu, kepala Negara pun diganti. Namun, tetap saja benang kusut di negeri ini semakin kusut saja. Setiap negeri yang aturannya jauh dari kebaikan dan tidak bersumber dari sang Maha Pencipta, Allah SWT, pasti tidak akan pernah berbuah manis. Layaknya rezim Mesir, Libya, atau Suriah yang akhirnya tersungkur tumbang. Maka kita sebagai penduduk negeri ini dan khususnya para pembaca KOMPAS tentu ingin lepas dari berbagai benang kusut yang membelit kita. Maka sudah saatnya kita memilih sebuah system dan rezim yang baik serta seorang pemimpin yang amanah. Sebuah system aturan yang baik, pastilah datang dari Dzat Maha Baik. Itulah syariat (sitem aturan) dari Allah SWT serta pemimpin amanah adalah seseorang yang tentu tunduk pada system yang baik tersebut. Marilah selamatkan Indonesia dengan Syariah! Karena memang hanya dengan system berdasarkan syariah plus menegakkan khilafah yang dipimpin oleh seorang khalifah (pemimpin) yang amanah, Indonesia akan benar-benar bisa menjadi lebih baik.
By Auliadejourn ^^