BBM Naik? (Lagi dan Lagi)
Mungkin bukan hal asing lagi bagi kita terhadap fakta akan naiknya harga BBM Premium per 1 April tahun ini (2012), setelah satu bulan lalu pemerintah juga menggulirkan rencana pembatasan penggunaan BBM Premium agar beralih ke Pertamax pada waktu yang sama. Tak tanggung-tanggung pemerintah memasang harga baru Premium Rp 6.000, lebih mahal Rp 1.500 dari harga sebelumnya. Alasannya, banyak. Salah satunya yang marak disebut-sebut pihak birokrasi adalah bahwasanya subsidi BBM harus dicabut karena tak tepat sasaran. Kemudian disebut-sebut juga alasan bahwa kita tak memiliki jumlah BBM Premium yang cukup sehingga kita harus mengimpornya dari luar negeri yang tentu harganya sesuai dengan harga standar dunia. Lalu, pantaskah kenaikan itu?
Kaya tapi Miskin
Mungkin banyak yang belum tahu, sebenarnya Indonesia itu adalah negara “kaya”, Emas, minyak, gas alam, timah, nikel, batubara serta masih banyak lagi sumber daya alam yang bisa diperbarui seperti hasil pertanian dan kelautan yang cukup berlimpah setiap tahunnya. Walaupun Indonesia mendapat predikat “kaya” namun apakah sebenarnya penduduk Negeri ini sudah sejahtera semua?
Berdasar data yang di rilis oleh BPS, jumlah penduduk miskin Indonesia hingga Maret 2011 tercatat sebanyak 30,02 juta orang atau 12,49 persen dari total penduduk. Angka itu turun 1 juta orang atau 0,84 persen dibandingkan dengan penduduk miskin pada Maret 2010 yang sebesar 31,02 juta orang atau 13,33 persen. Dari data BPS itu, sekilas menunjukkan kalo pemerintah berhasil menurunkan angka kemiskinan, namun apakah angka itu real?
Angka itu hanya didasarkan pada penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan, yaitu penduduk yang pengeluaran perbulannya Rp 211.726,- padahal kalo penduduk yang pengeluaran sebulannya mendekati angka itu juga dimasukkan, bukan mustahil angka 40 juta penduduk miskin terlampui! Maka, sangat terbukti bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia masih jauh dari kata sejahtera dan membutuhkan subsidi dari pemerintah.
BBM Minim?
Walaupun potensi Minyak dan gas Indonesia tinggi diantara negara tetangga, namun sekarang ini Indonesia masih menjadi negara Impoter minyak. Indonesia berada di peringkat 25 sebagai negara dengan potensi minyak terbesar yaitu sebesar 4.3 milyar barrel, peringkat 21 penghasil minyak mentah terbesar dunia sebesar 1 juta barrel/hari, peringkat 24 negara pengimpor minyak terbesar sebesar 370.000/hari, peringkat 22 negara pengonsumsi minyak terbesar sebesar 1 juta barrel/hari.
Sejak tahun 2003 Indonesia mulai mengalami defisit minyak, yaitu tingkat konsumsi terhadap BBM melampaui tingkat produksi.Tahun berikutnya 2004, defisit BBM ini tidak dapat ditutupi lagi dari cadangan nasional, sehingga untuk pertama kalinya pula Indonesia harus menutup kekurangan 176 kbpd dengan mengimpor minyak dari luar negri. Pada tahun 2010, tercatat produksi minyak Indonesia hanya 986 kbpd, dilain sisi tingkat konsumsi melonjak hingga menembus angka 1,304 kbpd atau defisit 318 kbpd.
Pemerintah tidak bisa hanya mengeluh dan menyatakan telah “menyerah” dalam upaya meningkatkan produksi minyak bumi. Artinya, jika ada keseriusan dan niat baik, maka tidak perlu naikkan BBM. (kompas.com, 8/3/2012)
Subsidi Tidak Tepat Sasaran? Bohong!
Alasan lain yang selalu muncul bahwa subsidi BBM tidak tepat sasaran sebab premium lebih banyak diminum mobil pribadi milik orang kaya. Itu hanya klaim, tidak tepat dan bertentangan dengan data. Data Susenas 2010 oleh BPS menyebutkan, 65 % BBM bersubsidi dikonsumsi oleh kalangan menengah bawah dengan pengeluaran per kapita di bawah US$ 4 dan kalangan miskin dengan pengeluaran per kapita di bawah US$ 2. Sementara itu, 27 % digunakan kalangan menengah, 6 % kalangan menengah atas dan 2 % kalangan kaya.
Data Badan Pengatur Hilir (BPH) Migas menyebutkan, kuota BBM bersubsidi tahun 2010 sekitar 36,51 juta kiloliter (KL), dengan rincian premium 21,46 juta KL, solar 11,25 juta KL dan minyak tanah 3,8 juta KL. Sementara Konsumsi Premium, 40 % untuk sepeda motor, 53 % untuk mobil pribadi plat hitam dan 7 % untuk angkutan umum. Seandainya 50 % dari mobil pribadi digunakan untuk kegiatan usaha UMKM maka sebesar 74 % premium bersubsidi dinikmati oleh rakyat menengah bawah.
Liberalisasi Migas sebagai Akar Permasalahan
Pemerintah telah berkomitmen menghilangkan secara bertahab subsidi BBM. Penghilangan subsidi BBM itu adalah salah satu kesepakatan dalam pertemuan puncak 21 kepala negara anggota APEC di Honolulu, Hawai, Amerika Serikat dan pertemuan G-20 di Prancis tahun lalu. Inilah alasan sebenarnya kenapa pemerintah terkesan ngotot memaksakan pembatasan BBM bersubsidi April mendatang.
Lebih dari itu, pembatasan BBM bersubsidi merupakan satu bagian integral dari paket kebijakan liberalisasi migas yang menjadi amanat UU No. 22/2001 dan didektekan oleh IMF melalui LoI. Teks UU tersebut menyatakan pentingnya manajemen urusan minyak dan gas sesuai dengan mekanisme pasar (pasal 3). Kebijakan liberalisasi migas itu untuk memberikan peluang bahkan menyerahkan pengelolaan migas dari hulu sampai hilir kepada swasta seperti yang tercantum pada pasal 9 : Kegiatan Usaha Hulu dan Kegiatan Usaha Hilir dilaksanakan oleh: badan usaha milik negara; badan usaha milik daerah; koperasi; usaha kecil; badan usaha swasta.
Pembatasan BBM bersubsidi itu untuk meliberalisasi migas di sektor hilir guna memberi jalan bagi swasta asing untuk masuk dalam bisnis eceran migas. Ini adalah rencana lama yang terus tertunda. Menteri ESDM waktu itu, Purnomo Yusgiantoro, menegaskan dalam pernyataan persnya (14/5/2003): “Liberalisasi di sektor minyak dan gas akan membuka ruang bagi para pemain asing untuk ikut andil dalam bisnis eceran bahan bakar minyak”. Selama harga BBM masih disubsidi maka sulit menarik masyarakat untuk membeli BBM jualan SPBU asing itu. Dengan kebijakan pembatasan BBM bersubsidi masyarakat dipaksa menggunakan pertamax, maka SPBU-SPBU asing tanpa capek-capek bisa langsung kebanjiran konsumen. Dengan begitu maka puluhan perusahaan yang telah mendapat izin bisa segera ramai-ramai membuka SPBU-SPBU mereka. Semua itu pintunya adalah kebijakan pembatasan BBM bersubsidi! Dengan demikian yang paling besar diuntungkan dari kebijakan itu adalah swasta dan asing pengecer migas. Sebaliknya yang dirugikan jelas adalah rakyat!!
Solusi Islam
Semua jenis sumber energi baik migas, listrik atau lainnya, secara syar’i negara tidak berhak untuk menguasakannya kepada individu, institusi, atau perusahaan tertentu, meskipun berasal dari warga negeri ini sendiri. Lalu bagaimana jika mereka itu berasal dari pihak asing kafir imperialis?! Sumber energi tersebut adalah milik umum untuk umat. Rasul saw bersabda:
«الْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِي ثَلاَثٍ فِي الْكَلإَِ وَالْمَاءِ وَالنَّارِ»
Kaum muslim berserikat dalam tiga hal: padang rumput, air dan api (HR Abu Dawud dan Ahmad)
Kata an-nâr (api) mencakup semua jenis energi yang disebutkan di atas, termasuk BBM. Negara secara syar’i dituntut untuk mengeksplorasi energi itu dan mendistribusikannya kepada rakyat. Jika negara menjualnya, negara harus mendistribusikan keuntungan hasil penjualannya kepada rakyat. Negara tidak boleh memungut dari rakyat kecuali pungutan yang tidak melebihi biaya riil untuk mengatur pengelolaan BBM.
Kebijakan liberalisasi migas termasuk pembatasan BBM bersubsidi jelas bertentangan dengan ketentuan syariah itu, karenanya haram dilakukan. Kebijakan itu merupakan kebijakan yang zalim dan merugikan rakyat untuk menyenangkan perusahaan-perusahaan asing dan pihak-pihak rakus yang menjarah kekayaan umat. Apalagi, tindakan itu telah membuat negeri ini berada di bawah pengaruh penjajah. Dan hal itu secara syar’i adalah haram. Allah SWT berfirman:
وَلَن يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلًا
Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman. (QS an-Nisa’ [4]: 141)
Karena itu kebijakan liberalisasi migas dan pembatasan BBM bersubsidi itu harus ditolak dan dihentikan. Berikutnya migas dan SDA lainnya harus segera dikelola dengan benar sesuai tuntunan yang dibawa oleh Rasul saw. Hanya dengan itulah, migas dan SDA lainnya akan bisa dikelola demi kesejahteraan dan kebaikan umat. Keinginan kita agar migas dan SDA yang ada benar-benar menjadi berkah bagi negeri ini hendaknya mendorong kita melipatgandakan usaha dan kesungguhan untuk mewujudkan penerapan Syariah Islam secara total dan utuh dalam bingkai Khilafah ‘ala minhaj an-nubuwwah.
Allahu’alam bishshawab
dk dari berbagai sumber